Kasus-kasus pada
lansia berserta pemeriksaanya :
1. Osteoathritis
Osteo arthritis merupakan penyakit sendi
degeneratif pada kartilago sendi dengan perubahan reaktif pada batas-batas
sendi, seperti pembentukan osteofit, perubahan tulang subkondral, perubahan
sumsum tulang, reaksi fibrous pada sinovium, dan penebalan kapsul sendi. Sendi
yang bisa terkena OA adalah sendi-sendi benar (‘true joint’ atau diarthrosis),
yaitu sendi-sendi yang mempunyai kapsul sendi, membran sinovialis, cairan
sinovialis, dan kartilago sendi.
Pemeriksaan :
Pemeriksaan
penunjang rutin yang dilakukan untuk evaluasi OA lutut adalah pemeriksaan
rontgen konvensional. Gambaran khas pada OA lutut adalah adanya osteofit dan
penyempitan celah sendi.3,7 Berdasarkan pemeriksaan radiologi, Kellgren &
Lawrence menyusun gradasi OA lutut menjadi :
a. Grade 0 :
tidak ada OA
b. Grade 1 :
sendi dalam batas normal dengan osteofit meragukan
c. Grade 2 :
terdapat osteofit yang jelas tetapi tepi celah sendi baik dan tak nampak
deformitas tulang.
d. Grade 3 :
terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan penyempitan celah
sendi.
e. Grade 4 :
terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan disertai hilangnya
celah sendi
The American
College of Rheumatology menyusun kriteria diagnosis OA lutut idiopatik
berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologi sebagai berikut :
Klinis
dan laboratorium
|
Klinis
dan radiologis
|
Klinis
|
Nyeri
lutut + minimal 5 dari 9 berikut :
- umur
> 50 tahun
- stiffness
< 30 menit
- krepitasi
- nyeri
pada tulang
- pelebaran
tulang
- tidak
hangat pada perabaan
- LED
< 40mm/jam
- Rheumatoid
factor <1:40
- Cairan
sinovial : jernih, viscous,Lekosit <2000/mm3
|
Nyeri
lutut + minimal 1 dari 3 berikut :
- umur
> 50 tahun
- stiffness < 30
menit
- krepitasi
+ osteofit
|
Nyeri
lutut + minimal 3 dari 6 berikut :
- umur
> 50 tahun
- stiffness
< 30 menit
- krepitasi
- nyeri
pada tulang
- pelebaran
tulang
- tidak
hangat pada perabaan
|
92%
sensitif
75%spesifik
|
91
% sensitive
86%
spesifik
|
95
% sensitif
69 spesifik
|
2. Reumatoid arthritis
Artritis Reumatoid (AR) adalah kelainan
inflamasi yang terutama mengenai membran sinovial dari persendian dan umumnya
ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas, dan
keletihan (Diane C. Baughman, 2000).
Artritis Reumatoid adalah penyakit
autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya dikarekteristikan
dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah pada destruksi
kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut (Susan Martin Tucker, 1998).
Penyakit reumatik adalah penyakit
inflamasi non- bakterial yang bersifat sistemik, progesif, cenderung kronik dan
mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris (Rasjad Chairuddin,
Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi, hal. 165).
Pemeriksaan
penunjang
1.Sinar
X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi
sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal )
berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan
subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
2.Scan
radionuklida :mengidentifikasi peradangan sinovium
3.Artroskopi
Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi
tulang pada sendi
4.Aspirasi
cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal:
buram, berkabut, munculnya warna kuning (respon inflamasi, produk-produk
pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan
komplemen (C3 dan C4).
5.
Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan
panas.
6.
Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration) atau
atroskopi; cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak leukosit dan
kurang kental dibanding cairan sendi yang normal.
7.Kriteria
diagnostik Artritis Reumatoid adalah terdapat poli- arthritis yang simetris
yang mengenai sendi-sendi proksimal jari tangan dan kaki serta menetap
sekurang-kurangnya 6 minggu atau lebih bila ditemukan nodul subkutan atau
gambaran erosi peri-artikuler pada foto rontgen
3. Osteoporosis
Secara harfiah kata osteo berarti tulang
dan kata porosis berarti
berlubang
atau dalam istilah populer adalah tulang keropos. Zat kapur,
kalsium
adalah mineral terbanyak dalam tubuh kurang lebih 98% kalsium
dalam
tubuh terdapat di dalam tulang. Kelompok kerja WHO dan
konsensus
ahli mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang
ditandai
dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya
mikrostruktural
jaringan tulang menyebabkan kerapuhan tulang sehingga
meningkatkan
risiko terjadinya fraktur. Keadaan tersebut tidak
memberikan
keluhan klinis kecuali apabila telah terjadi fraktur (Thief in
the
night)
Pemeriksaan
Pengukuran
densitas tulang merupakan kriteria utama untuk
menegakkan
diagnosis dan monitoring osteoporosis dengan densitometri,
computed
tomography scan (CT Scan), atau ultrasound. Diagnosis
osteoporosis
dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan
penunjang. Pada saat ini bakuan untuk diagnosis
osteoporosis
diperoleh dengan menggunakan teknik Dual Energy X-ray
Absorpsiometry
(DXA) yang mengukur kepadatan tulang sentral.
kelangkaan dan
mahalnya DXA untuk sementara dapat digantikan dengan
alat Ultrasound
Densitometry atau Quantitative Ultrasound (QUS) yang
lebih murah,
mudah dipindahkan dan tidak terdapat efek radiasi tetapi
tidak dapat
mengukur secara langsung BMD.
Beberapa teknik
yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan
mineral tulang
adalah sebagai berikut :
a. Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA),
menggunakan dua sinar–X berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan
tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada bagian
tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang
yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-x
yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur
kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang
tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan
dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingkan dengan metode ultrasounds.
Satuan : gr/cm2.
b. Peripheral Dual-Energy X-ray
Absorptiometry (P-DEXA),
merupakan hasil
modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur
kepadatan tulang
anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi
tidak dapat
mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang
seperti tulang
belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang
belakang dan
pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan
P-DEXA tidak
diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa,
menggunakan
radiasi sinar-X dengan dosis yang sangat kecil dan
hasilnya lebih
cepat dan konvensional dibandingkan DEXA. Satuan :
gr/cm2.
c. Dual Photon Absorptiometry (DPA),
menggunakan zat radioaktif
untuk menghasilkan
radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral
tulang belakang
dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar
dengan dosis
yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang
cukup lama.
Satuan : gr/cm2.
d. Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk
tes pendahuluan. Jika
hasilnya
mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka
dianjurkan untuk
tes menggunakan DEXA. Ultrasounds
menggunakan
gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral
tulang, biasanya
pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan
gelombang suara
melalui udara dan sebagian lagi melalui air.
Ultrasounds
dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak
menggunakan
radiasi seperti sinar-X. Salah satu kelemahan
ultrasounds
adalah tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral
tulang yang
berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan
ultrasounds juga
lebih terbatas dibadingkan DEXA. Satuan : gr/cm2
e. Quantitative Computed Tomography (QCT),
adalah suatu model dari
CT-scan yang
dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu
model dari QCT
disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat
mengukur
kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan
tangan. Pada
umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan
karena sangat
mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi dan
kurang akurat
dibandingkan dengan DEXA, P-DEXA atau DPA.
Satuan : gr/cm2.
Hasil pengukuran
kepadatan tulang dapat disajikan dalam
beberapa bentuk,
yaitu :
a. T-score
T-score hasil
pengukuran kepadatan tulang dibandingkan dengan
nilai rata-rata
kepadatan tulang sehat pada umur 30 tahun. Nilai
kepadatan
mineral tulang selanjutnya dilaporkan sebagai standar
deviasi dari
mean kelompok yang direferensikan.
1) Nilai negatif
(-) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai
kepadatan yang
lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata
kepadatan tulang
sehat pada usia 30 tahun.
2) Nilai positif
(+) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai
kepadatan
mineral lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
kepadatan tulang
sehat pada usia 30 tahun
Tabel 2.1
Kepadatan Tulang Berdasarkan T-Score
Kategori
Nilai T-Score
|
Normal -1 ≤ SD < 2.5
Osteopenia -2.5 ≤ SD <-1
Osteoporosis <
-2.5
Osteoporosis
parah <
-2.5 dan adanya satu
atau Lebih fraktur
4. Demensia
Definisi demensia menurut WHO adalah
sindrom neurodegeneratif
yang
timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progesifitas
disertai
dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi, kapasitas
belajar,
bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia
tidak
terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan
perburukan
kontrol emosi, perilaku, dan motivasi.
Menurut International Classification
of Diseases 10 ( ICD 10 ).
Penurunan
memori yang paling jelas terjadi pada saat belajar informasi
baru,
meskipun dalam. Pada kasus yang lebih parah memori tentang
informasi
yang pernah dipelajari juga mengalami penurun. Penurunan
terjadi
pada materi verbal dan non verbal. Penurunan ini juga harus
didapatkan
secara objektif dengan mendapatkan informasi dari orang –
orang
yang sering bersamanya, atau pun dari tes neuropsikologi atau
pengukuran
status kognitif.
Pemeriksaan
Mini Mental State Examination (MMSE)
adalah salah satu alat
yang
paling umum untuk pemeriksaan penurunan kognitif pada dewasa tua
dan
lanjut usia. MMSE dikembangkan untuk membedakan antara lanjut
usia
dengan atau tanpa gangguan neuropsikiatri awal dalam proses
penyakit.
Dengan mengetahui lebih awal gangguan neuropsikiatri orang
tersebut
maka dapat meningkatkan waktu pengobatan farmakologis dan
non
farmakologis untuk menunda terjadinya gangguan neuropsikiatri
tersebut
terutama gangguan kognitif. Hal ini juga digunakan selama masa
tindakan
pada pasien yang menderita gangguan kognitif untuk menilai
perkembangan
penyakit.
MMSE mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang menilai lima
bidang
fungsi kognitif (orientasi, memori langsung, perhatian /
konsentrasi,
daya ingat, bahasa). Dan beberapa komponen ini telah diteliti
ulang
dan menunjukan bahwa pada demensia memang terdapat beberapa
gangguan
tersebut.
5. Depressi lanjut usia
Depresi adalah gangguan perasaan yang
menimbulkan perasaan
terdepresi
(perasaan sedih, kecewa, sia-sia), hilangnya energi dan minat,
perasaan
bersalah, hilang atau sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan,
rasa
ingin bunuh diri dan terkadang memiliki perilaku yang merendahkan
diri
(tidak membersihkan diri, dan tidak memakai pakaian). Depresi juga
dapat
menyebabkan timbulnya keluhan simptomatik.
Depresi adalah gangguan mental dengan
penampilan mood yang
terdepresi,
kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan
bersalah
atau rendah diri, gangguan tidur atau nafsu makan, dan kurang
konsentrasi.
Pada lansia, depresi merupakan salah satu penyakit mental yang
sering
terjadi. Kaplan dan Sadock (1997) mengungkapkan bahwa gejala
depresi
ditemukan pada 25% dari semua penduduk komunitas lanjut usia dan
pasien
rumah perawatan (home nursing care). Kerentanan seorang lansia
terhadap
kejadian depresi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal, namun
multifaktorial,
yaitu faktor biologis, fisis, psikologis, dan sosial.
Pemeriksaan
Pemeriksaan
status mental
Pemeriksaan status mental yang dilakukan
kepada pasien dengan
gejala
depresi antara lain:
a.
Deskripsi umum
Retardasi psikomotor menyeluruh, agitasi
psikomotor sering
ditemukan
pada lanjut usia. Gejala agitasi yang paling umum adalah
menggenggamkan
tangan dan menarik-narik rambut. Pasien depresi
sering
memiliki postur membungkuk, mata kosong, pandangan putus
asa
dan mengalihkan pandangan.
b.
Mood, afek dan perasaan
Gangguan
perasaan yang sering didapat adalah afek sedih, perasaan
sedih
atau kesepian, penarikan diri dari sosial dan penurunan aktivitas
menyeluruh.
Pasien juga dapat mengeluhkan perasaan letih ataupun
kehilangan
energi tanpa melakukan pekerjaan yang berat.
c.
Bicara
Banyak
pasien menunjukkan penurunan kecepatan dan volume bicara
serta
respon yang melambat.
d.
Gangguan isi pikiran
Adanya
waham pada pasien terdepresi menunjukkan episode berat
dengan
ciri psikotik. Waham sesuai mood adalah waham bersalah,
memalukan,
tidak berguna, kemiskinan, kegagalan, kejar dan penyakit
somatik
terminal sedangkan waham tidak sesuai mood adalah tidak
sesuai
mood terdepresi, dengan tema kebesaran.
e.
Pikiran
Biasanya
memiliki pandangan negatif tentang dunia dan dirinya. Dapat
juga
terjadi pelambatan pikiran (thought blocking) dan kemiskinan isi
pikiran
sebanyak 10%.
f.
Sensorium dan Kognisi
Gangguan
orientasi lebih muncul pada depresi yang berat, meliputi
orientasi
terhadap orang, tempat dan waktu. Gangguan daya ingat pada
pasien
depresi sering disebut pseudokognitif yang terjadi sekitar 50 –
70%
dengan gejala gangguan kognitif, kurangnya konsentrasi dan
mudah
lupa. Tilikan pasien terkadang berlebihan menekankan gejala,
gangguan
dan masalah hidupnya. Informasi yang didapatkan terlalu
menonjolkan
hal yang negatif atau buruk.
6. Hipertensi
Menurut The Sixth Joint National
Committee on Prevention,
Detection,
Evaluation, adan Treatment of High Blood Pressure (1997)
hipertensi
merupakan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau
tekanan
darah diastolik 90 mmHg atau lebih atau sedang dalam
pengobatan
anti hipertensi.
Pemeriksaan
Anamnesis
Diagnosis
krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin,
karena
hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan
tepat
serta tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang
menyeluruh
walaupun dengan data – data yang minimal kita
sudah
dapat mendiagnosis suatu krisis hipertensi.
Sewaktu
penderita masuk, dilakukan anamnesis singkat. Hal
yang
penting ditanyakan:
1.
Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
2.
Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
3.
Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
4.
Gejala sistem syaraf (sakit kepala, perubahan mental,anxietas)
5.
Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang).
6.
Gejala sistem kardiovaskular ( adanya payah jantung,
kongestif
dan oedem paru, nyeri dada ).
7.
Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
8.
Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran
tekanan darah
(baring
dan berdiri) mencari kerusakan organ sasaran (retinopati,
gangguan
neurologi, payah jantung kongestif). Komplikasi krisis
hipertensi
dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung,
kongestif
dan oedema paru perlu dibedakan perlu dicari penyakit
penyerta
lain seperti penyakit jantung koroner.
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan
penunjang dilakukan dua cara yaitu :
1.
Pemeriksaan yang segera seperti :
a.
Darah : rutin, kreatinin, elektrolik.
b.
Urin : urinalisa dan kultur urin.
c.
EKG : 12 lead, melihat tanda iskemi.
d.
Foto thorax : untuk menentukan ada oedem paru atau tidak
2.
Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan
hasil
pemeriksaan yang pertama) :
a.
Sangkaan kelainan renal : IVP, renald angiography ( kasus
tertentu
), biopsi renald ( kasus tertentu ).
b.
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi :
Spinal
tab, CT Scan.
7. Stroke
Definisi yang paling banyak diterima
secara luas adalah bahwa
stroke
adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis
yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional
otak
fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada
intervensi
bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh
sebab
lain selain penyebab vaskuler (Mansjoer, 2000). Menurut Geyer
(2009)
stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan berkembangnya
tiba-tiba
defisit neurologis persisten fokus sekunder terhadap peristiwa
pembuluh
darah.
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor
satu di dunia dan
penyebab
kematian nomor dua di dunia. Duapertiga stroke terjadi di
negara
berkembang. Pada masyarakat barat, 80% penderita mengalami
stroke
iskemik dan 20% mengalami stroke hemoragik. Insiden stroke
meningkat
seiring pertambahan usia (Dewanto dkk, 2009).
Pemeriksaaan
Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan
kelumpuhan anggota
gerak
sebelah badan, mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak
dapat
berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini timbul sangat
mendadak,
dapat sewaktu bangun tidur, sedang bekerja, ataupun
sewaktu
istirahat.
Pemeriksaan
fisik
Penentuan keadaan kardiovaskular
penderita serta fungsi
vital
seperti tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan,
tentukan
juga tingkat kesadaran penderita. Jika kesadaran
menurun,
tentukan skor dengan skala koma glasglow agar
pemantauan
selanjutnya lebih mudah, tetapi seandainya penderita
sadar
tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai
pemeriksaan
saraf – saraf otak dan motorik apakah fungsi
komunikasi
masih baik atau adakah disfasia. Jika kesadaran
menurun
dan nilai skala koma glasglow telah ditentukan, setelah
itu
lakukan pemeriksaan refleks – refleks batang otak yaitu :
1.
Reaksi pupil terhadap cahaya.
2.
Refleks kornea.
3.
Refleks okulosefalik.
4.
Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan
Cheyne
Stoke, hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan
ataksik.
Setelah itu tentukan kelumpuhan yang terjadi pada
saraf
– saraf otak dan anggota gerak. Kegawatan kehidupan
sangat
erat hubungannya dengan kesadaran menurun, karena
makin
dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik
prognosis
neurologis maupun kehidupan. Kemungkinan
perdarahan
intra serebral dapat luas sekali jika terjadi
perdarahan
– perdarahan retina atau preretina pada
pemeriksaan
funduskopi.
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan
penunjang dilakukan dengan cek laboratorium,
pemeriksaan
neurokardiologi, pemeriksaan radiologi,
penjelasanya
adalah sebagai berikut :
1.
Laboratorium.
a.
Pemeriksaan darah rutin.
b.
Pemeriksaan kimia darah lengkap.
1.
Gula darah sewaktu.
Stroke
akut terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah
dapat
mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian
berangsur
– angsur kembali turun.
2.
Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati,
enzim
SGOT/SGPT/CPK, dan profil lipid (trigliserid,
LDH-HDL
kolesterol serta total lipid).
c.
Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).
1.
Waktu protrombin.
2.
Kadar fibrinogen.
3.
Viskositas plasma.
d.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi
Homosistein
Pemeriksaan
neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat
perubahan
elektrokardiografi.
Perubahan ini dapat berarti kemungkinan
mendapat
serangan infark jantung, atau pada stroke dapat
terjadi
perubahan – perubahan elektrokardiografi sebagai akibat
perdarahan
otak yang menyerupai suatu infark miokard.
Pemeriksaan
khusus atas indikasi misalnya CK-MB follow up
nya
akan memastikan diagnosis. Pada pemeriksaan EKG dan
pemeriksaan
fisik mengarah kepada kemungkinan adanya
potensial
source of cardiac emboli (PSCE) maka pemeriksaan
echocardiografi
terutama transesofagial echocardiografi (TEE)
dapat
diminta untuk visualisasi emboli cardial.
Pemeriksaan
radiologi
a.
CT-scan otak
Perdarahan
intraserebral dapat terlihat segera dan
pemeriksaan
ini sangat penting karena perbedaan
manajemen
perdarahan otak dan infark otak. Pada infark
otak,
pemeriksaan CT-scan otak mungkin tidak
memperlihatkan
gambaran jelas jika dikerjakan pada hari –
hari
pertama, biasanya tampak setelah 72 jam serangan.
Jika
ukuran infark cukup besar dan hemisferik.
Perdarahan/infark
di batang otak sangat sulit diidentifikasi,
oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk
memastikan
proses patologik di batang otak.
b.
Pemeriksaan foto thoraks.
1.
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah
terdapat
pembesaran ventrikel kiri yang merupakan
salah
satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke
dan
adakah kelainan lain pada jantung.
2.
Dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial
mempengaruhi
proses manajemen dan memperburuk
prognosis.
8. Jantung coroner
Penyakit jantung koroner dalam suatu
keadaan akibat terjadinya
penyempitan,
penyumbatan atau kelainan pembuluh nadi koroner.
Penyakit
jantung koroner diakibatkan oleh penyempitan atau penyumbatan
pembuluh
darah koroner. Penyempitan atau penyumbutan ini dapat
menghentikan
aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan
rasa
nyeri (Yenrina, Krisnatuti, 1999).
Penyakit jantung koroner adalah penyakit
jantung akibat adanya
kelainan
pada pembuluh koroner yakni pembuluh nadi yang mengantarkan
darahke
aorta ke jaringan yang melindungi rongga-rongga jantung
(Kartohoesodo,
1982).
Pemeriksaan
Anamnesis
Anamnesis berguna mengetahui riwayat masa
lampau seperti riwayat
merokok,
usia, infark miokard sebelumnya dan beratnya angina untuk
kepentingan
diagnosis pengobatan (Anonim, 2009).
Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan
sebagai acuan pada PJK adalah denyut jantung, tekanan darah, suhu tubuh dan
kecepatan respirasi (Majid, 2007).
Laboratorium
Pada pasien angina stabil sebaiknya
dilakukan pemeriksaan profil lipid
seperti
LDL, HDL, kolesterol total, dan trigliserida untuk menentukan faktor
resiko
dan perencanaan terapi. Selain pemeriksaan diatas dilakukan pula
memeriksaan
darah lengkap dan serum kreatinin. Pengukuran penanda enzim
jantung
seperti troponin sebaiknya dilakukan bila evaluasi mengarah pada
sindrom
koroner akut (Anonim, 2009).
Foto
sinar X dada
X-ray
dada sebaiknya diperiksa pada pasien dengan dugaan gagal jantung,
penyakit
katup jantung atau gangguan paru. Adanya kardiomegali, dan kongestiparu dapat
digunakan prognosis (Anonim, 2009).
Pemeriksaan
jantung non-invasif
a.
EKG merupakan pemeriksaan awal yang penting untuk mendiagnosis PJK.
b.
Teknik non-invasi penentuan klasifikasi koroner dan teknik imaging (computed
tomografi
(CT) dan magnetic resonance arteriography. Sinar elektron CT
telah
tervalidasi sebagai alat yang mampu mendeteksi kadar kalsium koroner
(Anonim,
2009).
Pemeriksaan
invasif menentukan anatomi koroner
Arteriografi
koroner adalah Pemeriksaan invasif dilakukan bila tes non invasif
tidak
jelas atau tidak dapat dilakukan. Namun arteriografi koroner tetap
menjadi
pemeriksaan fundamental pada pasien angina stabil. Arteriografi
koroner
memberikkan gambaran anatomis yang dapat dipercaya untuk
identifikasi
ada tidaknya stenosis koroner, penentuan terapi dan prognosis
(Anonim,
2009).
9. Kardiomiopati
Kardiomiopati adalah suatu proses
penyakit yang kompleks yang dapat
menyerang
jantung penderita dengan berbagai usia dan manifestasi klinis biasanyatampak
saat dekade ketiga atau keempat. Kardiomiopati dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan
perubahan anatomi yang terjadi, yaitu kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati
hipertrofi, dan kardiomiopati restriksi.
Pemeriksaan
Pada pasien dengan penyakit lanjutan,
tekanan nadi menyempit dan tekanan vena jugularis meningkat. Suara jantung
ketiga dan keempat umumnya ada, dan regurgitasi mitral atau trikuspid mungkin
terjadi. Pada beberapa pasien, gejala gagal jantung berkembang secara bertahap.
Pemeriksaan
fisik menunjukkan ronkhi basah, peninggian jugular venous pressure, kardiomegali,
irama gallop pada S3, edema perifer, atau asites. Pada gagal jantung kronik
yang parah, pernafasan Cheyne-Stokes, pulsus alternans, pucat, dan sianosis dapat
timbul.
Pemeriksaan
Penunjang
Hasil pemeriksaan X-foto thorax
menunjukkan pembesaran siluet jantungkarena dilatasi ventrikel kiri, meskipun
kardiomegali yang umum sering terlihat. Bagian paru mungkin menunjukkan redistribusi
vaskuler dan interstitial paru atau, dalam kasus yang lebih lanjut, edema paru
elektrokardiogram (EKG) sering menunjukkan sinus takikardi atau fibrilasi
atrium, aritmia ventrikel, atrium kiri yang tidak normal, tegangan rendah, dan
kadang-kadang kerusakan konduksi intraventrikel dan/atau AV. EKG,
gambarancomputed tomography (CT), dan magnetic resonance imaging (MRI) jantung
menunjukkan dilatasi ventrikel kiri, dengan dinding yang normal, sedikit
menebal, atau tipis, dan disfungsi sistolik. Kadar dari brain natriuretic
peptide (BNP) biasanya meningkat.
Skrining awal pemeriksaan laboratorium
untuk pasien kardiomiopati
dilatasi
harus mencakup penilaian rutin elektrolit serum, tes fungsi hati,jumlah sel darah
putih, dan hemoglobin dan hematokrit. Di luar tes rutin ini, nilai prediktif positif
atau kegunaan dari penelitian laboratorium tambahan masih rendah kecuali didukung
oleh unsur-unsur tertentu dari sejarah dan pemeriksaan fisik. Satu kemungkinan
pengecualian untuk pernyataan ini adalah penggunaan BNP sebagai penanda
biokimia untuk diagnosis dan prognosis pada pasien gagal jantung.
BNP tipe B adalah sebuah neurohormon yang
disekresikan terutama di
ventrikel
jantung sebagai respon dari penambahan volume dan kelebihan tekanan.Ini bisa
digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel
kiri tanpa gejala atau untuk pasien dengan gagal jantung simtomatik, sebagai
penanda untuk prognosis dan stratifikasi risiko pada pasien dengan gagal jantung,
dan sebagai alat untuk menyatukan terapi pasien rawat inap dan pasien rawat
jalan pada gagal jantung.
Pada fase awal kardiomiopati dilatasi,
pembesaran jantung mungkin bisa minimal dan mungkin tidak terdeteksi dengan
foto thorax. Tetapi, secara umum, Xfoto thorax biasanya menunjukkan pembesaran
ventrikel kiri atau kardiomegali yang umum yang melibatkan seluruh ruang
jantung. Tergantung dari status volume pasien, mungkin dapat atau tidak
ditemukan kongesti paru. Cephalisasi dari aliran darah atau redistribusi
vaskuler paru adalah tanda awal kelebihan cairan, diikuti oleh perkembangan
dari edema interstitial dengan munculnya garis Kerley B dan cairan di fissura
interlobar, diikuti oleh edema alveolar yang nyata pada kelebihan cairan yang
sudah lanjut. Efusi pleura mungkin muncul serta vena azygos dan vena cava
superior mungki mengalami pembesaran, khususnya dengan gagal ventrikel kanan.
Apabila pasien dengan
kardiomiopati dilatasi datang dengan tanda atau
gejala
yang mengarah pada gagal jantung, EKG biasanya menunjukkan sinus
takikardi.
Tetapi, sangat penting untuk mengingat bahwa sinus bradikardi mungkindapat
timbul di beberapa pasien dengan kardiomiopati dilatasi stadium akhir. Morfologi
yang terlihat dari EKG jarang terlihat normal, dan sering menunjukkan repolarisasi
non spesifik atau segmen ST yang abnormal. Kelainan konduksi, terutama LBBB,
left anterior hemiblock, dan penundaan konduksi intraventrikel yang tidak
spesifik, dan kadang kala blok atrioventrikuler derajat satu umum ditemukan
pada pasien dengan gejala yang sudah berlangsung lama, dan mungkin sebagai
penanda peningkatan fibrosis interstitial atau hipertrofi miosit. Right bundle branch
block (RBBB) jarang ditemukan. Pembesaran atrium kiri atau biatrial mungkin
tampak. Berbagai macam takiaritmia dan gangguan konduksi atrioventrikuler juga
dapat dilihat. Fibrilasi atrium terbentuk di sekitar 20% pasien. Premature
ventricular contractions (PVCs) bukan merupakan sesuatu yang jarang muncul di
EKG rutin pada pasien kardiomiopati dilatasi.
10. PPOK (penyakit paru obstruktif kronis)
Menurut GOLD (Global Inisiative for
Chronic Obstructive Lung Disease), PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah
diobati dengan beberapa efek ekstrapulmonal yang signifikan berkontribusi
terhadap tingkat keparahan penderita. Karakteristik penyakit ini ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara tersebut biasanya bersifat progressif dan berhubungan dengan
respon inflamasi pulmonal terhadap partikel atau gas berbahaya.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan
ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak
sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal
paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.15 Pada PPOK, bronkitis
kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses
yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema
tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis
klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. Bronkitis kronik
merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang
meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu
perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan
duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar
Pemeriksaan
Anamnesis
PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir
semua pasien berdasarkan
tanda
dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan
penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat
menegakkan diagnosis. Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK
adalah sebagai berikut.
a. Batuk kronik
Batuk
kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir
yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk
dapat
terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada
malam
hari.
b. Berdahak kronik
Hal
ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang
kadang
pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai
batuk.
Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari
ketika
bangun tidur.
c. Sesak napas
Terutama
pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat
sehingga
sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan
dengan
teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak
Tabel
2. Skala Sesak
Skala Sesak Keluhan
Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak
kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak
mulai timbul bila berjalan cepat atau naik
tangga 1 tingkat
2 Berjalan
lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak
timbul bila berjalan 100 m atau setelah
beberapa menit
4 Sesak
bila mandi atau berpakaian
Selain gejala klinis, dalam anamnesis
pasien juga perlu ditanyakan
riwayat
pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang
terlibat.
Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari
80%
kematian pada penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang
merokok
memiliki resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak
merokok.
Resiko untuk perokok aktif sekitar 25%.
Akan tetapi, faktor resiko lain juga
berperan dalam peningkatan kasus
PPOK.
Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok
pasif,
paparan kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan
ketika
masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1-
antitripsin.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila
sekurang-kurangnya pada
anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk
kronik
dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan
aktivitas
pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
Pemeriksaan
Fisik
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan
hingga terjadi hambatan
fungsi
paru yang signifikan.Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak
ditemukan
kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena
sudah
mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat
sedang
dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas
atau
perubahan bentuk anatomi toraks.Secara umum pada pemeriksaan fisik
dapat
ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Inspeksi
-Bentuk
dada: barrel chest (dada seperti tong)
-Terdapat
purse lips breathing (seperti orang meniup)
-Terlihat
penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Palpasi
-Sela
iga melebar
b. Perkusi
-
Hipersonor
c. Auskultasi
-Fremitus
melemah
-Suara
nafas vesikuler melemah atau normal
-Ekspirasi
memanjang
-Bunyi
jantung menjauh
-Terdapat
ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa ataupada ekspirasi paksa
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
Spirometri
Pasien yang dicurigai PPOK harus
ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometri. The National Heart, Lung, dan
Darah Institute merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau
lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak
persisten. Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan prosedur sederhana
yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan oleh praktisi
kesehatan.
Kunci pada pemeriksaan
spirometri ialah rasio FEV1 (Forced
Expiratory
Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1adalah volume udara yang pasien dapat
keluarkan secara pak dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1
pada pasien dapat diprediksi dari
usia,
jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total
udara
yang pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.
Berdasarkan
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD)
2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
1.
Derajat 0 (berisiko)
Gejala
klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum,
dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri
: Normal
2.
Derajat I (PPOK ringan)
Gejala
klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum.Sesak
napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri
: FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
3.
Derajat II (PPOK sedang)
Gejala
klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum.
Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri
:FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
4.
Derajat III (PPOK berat)
Gejala
klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4.Eksaserbasi lebih
sering
terjadi
Spirometri
:FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%
5.
Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala
klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai
komplikasi
kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri
:FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%
Pemeriksaan
Penunjang lain
Spirometri adalah tes utama untuk
mendiagnosis PPOK, namun
beberapa
tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan.
Radiografi
dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau
perubahan
fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan computed tomography untuk
memonitor kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus
dilakukan
untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.Hal ini wajar untuk
melakukan
elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tandatanda corpulmonale
untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse
oksimetri
saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur harus
dilakukan
untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen
tambahan.
11. Tuberculosis
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah
penyakit infeksius, yang
terutama
menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal
dari
tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu
sistem
kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb
paru
ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma
dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular
melalui
udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin
atau
bicara.
Pemeriksaan
Pemeriksaan
dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk
menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagisewaktu (SPS).
1.
S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis
datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek
membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi
hari
kedua
2.
P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas.
3.
S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat
menyerahkan
dahak pagi hari.
Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi
menjadi dua yaitu
pemeriksaan
mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan
Ziehl
Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana `
pewarnaannya
dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk
penapisan).
Tabel
2 Intepretasi hasil pemeriksaan Tb paru
3 kali
positif atau dua kali positif, 1 kali negative BTA
+
1 kali
positif, 2 kali negatif Ulangi BTA 3 kali
Bila 1
kali positif, dua kali negatif BTA
+
Bila 3
kali negatif BTA
-
Pemeriksaan
Bactec
Dasar
teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik.
Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu
alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis
dan melakukan uji kepekaan.Bentuk lain teknik ini adalah dengan memakai
Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT)10.
Pemeriksaan darah
Hasil
pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik untuk Tb
paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam
kedua dibutuhkan. Data ini dapat di
pakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan
penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap
pengobatanpenderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan daya tahan tubuh
penderita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal juga
tidak menyingkirkan diagnosa TBC10.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan
standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi ialah foto
lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada pemeriksaan
sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus
dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:
a. Curiga
adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
b. Hemoptisis
berulang atau berat
c. Didapatkan
hanya 1 spesimen BTA +
Pemeriksaan foto toraks memberi
gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi
Tb paru aktif :
a. Bayangan
berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dansegmen superior
lobus bawah paru.
b. Kaviti
terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.
c. Bayangan
bercak milier.
d. Efusi
Pleura
Gambaran radiologi yang dicrigai Tb
paru inaktif 11:
a. Fibrotik,
terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas danatau segmen
superior lobus bawah.
b. Kalsifikasi.
c. Penebalan
pleura.
12. Diabetes
mellitus
Diabetes
Melitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemia
kronik yang disertai dengan berbagai
kelainan metabolik yang
diakibatkan oleh gangguan hormonal yang
menimbulkan berbagai
macam komplikasi kronik pada organ
mata, ginjal, saraf, pembuluh
darah disertai lesi padda membran basalis
dalam dengan menggunakan
pemeriksaan dalam mikroskop (Arief
Mansjoer dkk, 2005).
Menurut
Arif Mansjoer (2005), klasifikasi pada penyakit
diabetes mellitus ada dua antara lain:
Diabetes Tipe I (Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)).
Diabetes tipe ini juga jenis
diabetes yang sering disebut DMTI yaitu
Diabetes Mellitus Tergantung
Pada Insulin. Pada tipe ini yaitu
disebabkan oleh distruksi sel beta
pulau langerhans diakibatkan oleh
proses autoimun serta idiopatik.
Diabetes Mellitus Tipe II, diabetes
tipe II atau Non Insulin Dependent
Diabetes mellitus (NIDDM) atau jugu
DMTTI yaitu Diabetes Mellitus
Tak Tergantung Insulin. Diabetes tipe
II ini disebabkan karena adanya
kegagalan relativ sel beta dan
resistensi insulin. Resistensi
insulinmerupakan turunnya kemampuan
insulin dalam merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer, untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel beta
tersebut tidak dapat mengimbangi
resistensi insulin ini seutuhnya, yang
dapat diartikan terjadi nya
defensiensi insulin, adanya
ketidakmampuan ini terlihat dari
berkurangnya sekresi insulin terhadap
rangsangan glukosa maupun
glukosa bersama perangsang sekresi
insulin yang lain, jadi sel beta
pancreas tersebut mengalami
desentisisasi terhadap glukosa.
Pemeriksaan
Pemerikaan Penunjang
Menurut
Smelzer dan Bare (2008), adapun pemeriksaan penunjang
untuk penderita diabetes melitus antara
lain :
a. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : melihat pada daerah kaki
bagaimana produksi
keringatnya (menurun atau tidak),
kemudian bulu pada
jempol kaki berkurang (-).
2) Palpasi : akral teraba dingin, kulit
pecah - -pecah , pucat,
kering yang tidak normal, pada ulkus
terbentuk kalus yang
tebal atau bisa jugaterapa lembek.
3) Pemeriksaan pada neuropatik sangat
penting untuk
mencegah terjadinya ulkus
b. Pemeriksaan Vaskuler
1) Pemeriksaan Radiologi yang meliputi
: gas subkutan,
adanya benda asing, osteomelietus.
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan darah yang meliputi :
GDS (Gula Darah
Sewaktu), GDP (Gula Darah Puasa),
b) Pemeriksaan urine , dimana urine
diperiksa ada atau
tidaknya kandungan glukosa pada urine
tersebut.
Biasanya pemeriksaan dilakukan
menggunakan cara
Benedict (reduksi). Setelah pemeriksaan
selesai hasil
dapat dilihat dari perubahan warna yang
ada : hijau (+),
kuning (++), merah (+++), dan merah
bata (++++).
c) Pemeriksaan kultur pus
Bertujuan untuk mengetahui jenis kuman
yang terdapat
pada luka dan untuk observasi dilakukan
rencana
tindakan selanjutnya.
d) Pemeriksaan Jantung meliputi EKG
sebelum dilakukan
tindakan pembedahan
13. Ulkus
diabetikum
Ulkus
diabetikum merupakan salah satu komplikasi yang umum bagipasien dengan diabetes
melitus. Penyembuhan luka yang lambat dan
meningkatnya kerentanan terhadap
infeksi cenderung terjadi, ganggren dapatberkembang dan terdapat resiko tinggi
perlu dilakukannya amputasi tungkaibawah hal ini di akibatkan oleh gangguan
neurologis (neuropati) dan vaskulerpada tungkai (Morison, 2012).
Pemeriksaan
Diagnosis
kaki diabetik harus dilakukan secara teliti, diagnosis kaki
diabetik ditegakkan melalui riwayat
kesehatan pasien, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosa kaki
diabetes melitus dapat ditegakkan
melalui beberapa tahap pemeriksaan
sebagai berikut :
a. Riwayat kesehatan pasien dan
keluarga
Riwayat kesehatan pasien dan keluarga
meliputi :
1) Lama diabetes
2) Managemen diabetes dan kepatuhan
terhadap diet
3) Olahraga dan obat-obatan
4) Evaluasi dari jantung, ginjal dan
mata
5) Alergi
6) Pola hidup
7) Medikasi terakhir
8) Kebiasaan merokok
9) Minum alkohol
Selain
itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki,pernah terekspos
dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas, gejala
Neuropathi dan gejala iskemi, riwayat
luka atau ulkus. Pengkajian pernah
adanya luka dan ulkus meliputi lokasi,
durasi, ukuran, dan kedalaman,
penampakan ulkus, temperatur dan bau.
b.
Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit
seperti warna, turgor kulit, pecahpecah;
berkeringat; adanya infeksi dan
ulserasi; adanya kalus atau bula;
bentuk kuku; adanya rambut pada kaki.
Inspeksi pada otot seperti sikap
dan postur dari tungkai kaki;
deformitas pada kaki membentuk claw toe
atau charcot joint; keterbatasan gerak
sendi; tendon; cara berjalan; dan
kekuatan kaki.
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat
menggunakan monofilamen
ditambah dengan tunning fork 128-Hz,
pinprick sensation, reflek kaki
untuk mengukur getaran, tekanan dan
sensasi.
3) Pemeriksaan aliran darah dengan
menggunakan palpasi denyut nadi
pada arteri kaki, capillary refiling
time, perubahan warna, atropi kulit
dan kuku dan pengukuran ankle brachial
index.
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk
alas kaki yang sesuai dan
nyaman, tipe sepatu dan ukurannya.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan
untuk mengetahui status klinis
pasien, yaitu: pemeriksaan glukosa
darah baik glukosa darah puasa atau
sewaktu, glycohemoglobin (HbA1c),
Complete Blood Count (CBC),
urinalisis, dan lain- lain.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG
(Electromyographi) dan
pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui apakah kaki diabetik menjadi
infeksi dan menentukan kuman
penyebabnya.
e. Pemeriksaan sederhana yang dapat
dilakukan untuk deteksi kaki diabetik
adalah dengan menilai Ankle Brachial
Index (ABI) yaitu pemeriksaan
sistolik brachial tangan kiri dan kanan
kemudian nilai sistolik yang paling
tinggi dibandingkan dengan nilai
sistolik yang paling tinggi di tungkai.
Nilai normalnya adalah O,9-1,3. Nilai
dibawah 0,9 itu diindikasikan
bawah pasien penderita diabetes melitus
memiliki penyakit kaki diabetik
dengan melihat gangguan aliran darah
pada kaki. Alat pemeriksaan yang
digunakan ultrasonic doppler. Doppler
dapat dikombinasikan dengan
manset pneumatic standar untuk mengukur
tekanan darah ekstremitas
bawah.
Daftar
Pustaka
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/113/jtptunimus-gdl-zilfakusum-5628-2-babii.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/141/jtptunimus-gdl-gharinisum-7045-3-babii.pdf
http://eprints.undip.ac.id/44194/3/VettyKurniawati_G2A009145_BAB2KTI.pdf
http://fisioterapishartanto.blogspot.co.id/2011/11/osteoarthritis-oa.html
http://eprints.undip.ac.id/48368/3/BAB_II.PDF
http://eprints.ums.ac.id/33983/11/BAB%20II.pdf
http://widhawidhari.blogspot.co.id/2014/03/askep-rematik-pada-lansia.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/22611/Chapter%20II.pdf?sequence=4
http://eprints.undip.ac.id/44525/3/Danu_Kamajaya_22010110110028_BAB_II.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-adammiciga-6398-3-babiit-a.pdf
http://eprints.ums.ac.id/14926/2/BAB_1.pdf
http://eprints.undip.ac.id/53766/3/Ahmad_Mumtaz_22010112130171_Lap_KTI_Bab2.pdf
http://eprints.undip.ac.id/44615/3/2.pdf
0 komentar:
Posting Komentar