Pages

Subscribe:

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Jumat, 10 Maret 2017

MK Filsafat Ilmu (aksiologi : nilai kegunaan ilmu tugas smt 2)

Latar Belakang
Menurut Gordon Allport nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihanya. Sedangkan menurut Thomas Kuhn ilmu adalah himpunan aktifitas yang menghasilkan banyak penemuan baik dalam bentuk penolakan maupun pengembanganya. Setiap ilmu akan menghasilkan teknologi yang akan diterapkan kepada masyarakat. Hasil dari ilmu itu tidak selalu memberi berkah atau penyelamat pada manusia. Dengan kemajuan ilmu manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negative yang menimbulkan mala petaka bagi manusia iu sendiri.



Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang satu bidang yang di susun secara sistematis yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu. Menurut (Rahmat,2011) bahwa ilmu pengetahuan di peroleh secara sahih dan andal dengan suatu penyelidikan ilmiah yaitu penelitian maka ia merupakan sebuah proposisi yang timbul sebagai hasil dari sebuah kesimpulan proses pencarian pengetahuan yang sistematis dan terkontrol.
Menurut Minto Rahayu ilmu adalah pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dan berlaku untuk umum. Dari papara di atas berarti ilmu harus di letakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemausiaan. Sebab jik ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan mala petaka. Seorang ilmuan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat yang akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebeas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuan harus berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.
Bedasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka ilmu harus sesuai dengan keperluan dan kebutuhan manusia aagar terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah dengan itu ilmu dapat mengubah wajah dunia seperti membeerantas penyakit kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainya. Singkatnya ilmu merupakan saran untuk membantu manusia dalam membantu tujuan hidupnya.


RUMUSAN MASALAH
1.     Apa yang dimaksud dengan aksiologi: nilai kegunaan ilmu
2.     Bagaimana nilai kegunaan ilmu dalam aksiologi
3.     Bagaimana macam-macam kategori dasar aksiologi
4. bagaimana kaitan
TUJUAN
1.     untuk memahami arti dan maksud dari aksiologi: nilai kegunaan ilmu
2.     untuk mengetahui dan memahami kegunaan aksiologi: nilai kegunaan ilmu
3.     untuk menyebutkan dan menjelaskan kategori dasar aksiologi
4.     untuk mengetahui kegunaan teori nilai: nilai kegunaan ilmu



























BAB 2
PEMBAHASAN
2.1   PENGERTIAN AKSIOLOGI
Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Dengan demikian aksiologi adalah teori tentang nilai (Amsal Bakhtiar, 2004). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 2000). MenurutBramel dalam Amsal Bakhtiar (2004), aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct yaitu tindakan moral yang melahirkan etika. Kedua, esthetic expression yaitu ekspresi keindahan. Ketika, sosio political life yaitu kehidupan social politik yang akan melahirkan filsafat sosio politik. Dalam encyclopedia of philosophy, dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu
A.   Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak. Dalam arti sempit: berupa sesuatu yang baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian luas: kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Aksiologi merupakan bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sebagai instrument untuk menjadi baik, atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetika dari sebuah karya seni, sebagai nilai instrinsik menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai contributor atau nilai yang merupan pengalaman yang berupa kontribusi.
B.    Nilai sebagai kata benda konkret, contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan system nilai. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
C.    Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai sama dengan evaluasi yang digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi (Paul Edwards, (ed.) dalam Amsal Bakhtiar, 2004).

Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemic tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang biasa disebut sebagai netralisasi pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau lebih dikenal dengan value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralisasi penngetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai. Bagi ilmuan penganut paham terikat nilai, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai. Terkait dengan pendekatan aksiologi dalam filsafat ilmu maupun dengan ilmu, maka muncullah dua penilaian yang sering digunakan yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematik masalah-masalah moral. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Socrates.

Ilmu merupakan salah satu pengetahuan yang diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan secara lebih cepat dan lebih mudah, sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradapan manusia sangat tergantung pada kemajuan ilmu.

Pertanyaan yang juga akan muncul seputar aksiologi, antara lain apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Atau sebaliknya, apakah ilmu juga dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat negative yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri? Semua jawabannya ada pada sikap ilmuan itu sendiri dan hakikat dari ilmu yang berfungsi untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Setiap ilmj akan menghasilkan teknologi yang dapat diterapkan kepada masyarakat. Proses ilmu menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari sikap ilmuan. Seorang ilmuan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat, akan berimpilkasi pada persoalan etika keilmuan. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuan haruslah dijaga dengan baik, dalam hal tanggung jawab dalam bidang akademis maupun tanggung jawab moral sebagai seorang ilmuan.

Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Tida dapat disangka lagi bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan sebagai wajah kehidupan yang duka. Apakh ilmu selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi maunsia? Bukankah atom yang diciptakan memiliki dua sisi mata uang, dimana satu sisi bisa  dimanfaatkan sebagai sumber energy bagi pemenuhan hajat manusia di muka bumi, sedangkan sisi sebaliknya, digunakan sebagai bahan perakit bom atom yang berakibaat dahsyat bagi penghancuran eksistensi manusia dan makhluk hidup lainya di area dan di sekitar ledakan. Begitu juga berbagai upaya yang telah di lakukan manusia sebagi contoh, usaha untuk memerangi kuman yang membunuh manusia sekaligus menghasilkan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk membunu sesame manusia. Einstein mengeluh dihadapan manusia California institut of technology:
“Dalam peperangn ilmu menybabkan kita saling meracuni dan saling menjegal. Dikerumunan dunia yang sedang tercipta perdamaian, ilmu membuat hidup kita dikejar waktu dan penuh dengan ketidak pastian. Mengapa ilmu yang amat indah itu, yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali kepada kita?.” (Suriasumantri, 2000: 35)

Kalau kita mengkaji pernyataan Enstein itu dalam-dalam  maka masalahanya terleta dalam hakikat ilmu itu sendiri. Seperti dicanangkan oleh Francis Bacon berabad-abad yang silam, pengetahuan adalah kekuasan. Apakah keukasan itu merupakan berkat atau mala petaka bagi manusia, semua itu terletak pada orang yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk dan pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Jalan mana yang akan ditempuh dalam memanfaatkan kekuasaan yang besar terletak pada sistm nilai pemilik pengetahuan tersebut.

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan di terapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadisebuah  teknolgi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuannya. Seorang ilmuan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, tanggung jawab moral.

Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahua. Seoraang ilmuan haruslah bebas dalam menetukan topic penelitianya, bebas dalam melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat dapat mengukur kualitas kemampuanya. Ketika seseorang ilmuan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmuanya dan tujuan agar penelitianya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, niali adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.

Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa mala petaka dan kesengsaraan? Memang dengan jalan mempealajari teknologi seperti pembuatan bom atom, manusia bias memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energy bagi keselamatan manusia, tetapi di pihak lain hal ini bias juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan mala petaka. Menghadi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagai mana adanya,mulai memepertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Untuk menjawap pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuan harus berpaling kehakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nila-nilai moral (Agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus mengemukakan teorinya “bumi yang berputar mengelilingi matahari” sementara ajaran agama menilai sebaliknya, maka timbulah interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan, diantaranya agama. Timbulah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataan-pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad menpengaruhi proses perkembangan berpikitr di Eropa. Dalam kurun waktu ini, para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu bedasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”, setelah pertarungan itulah ilmuan mendapatkan dengan memperoleh keotomian ilmu. Artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam mempelajari alam sebagaimana adanya.

Setelah ilmu mendapatkan otomi yang terbebeas dari segenap nilai yang bersifat dormatik, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pernyataan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral? Apabila teknologi itu menimbulkan akses yang negatif terhadapa masayarakat.

Dihadapan dengan masalah moral dalam akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuan berbagi kedalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepad orang lain untuk memepergunakanya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujua yang buruk. Golongan ini ingin melanjutka tradisis kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo. Golonga kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nila-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaanya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golonga kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni :
1.     Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua pernag dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
2.     Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuan lebih mengetahuai tentang akses-akses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
3.     Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat merubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika and teknik perbuatan social.
Bedasarkan ketiga hal diatas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditunjukan untuk kebaikan manuisa tanpa merandahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.

Dari dua pendapat golongan diatas kelihatanya netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan seca ontologis dan aksiologis, ilmuan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuan akan lebih merupakan seorang momok yang lebih paling menakutkan.

Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterpakan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam perilaku keilmuanya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normative menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaiaan terhadap perbuatan-pernuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertantangan dengan yang seharusnya terjadi.

Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dihubungkan dengan perilaku manusia.

Nilai dan norma yang harus berbeda pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ian berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang adil seperti nilai dan agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menetukan apakah sesorang berlaku baik atau buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuan nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penetu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau buruk.

Penerapan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh para ilmuan, apakah itu berupa teknologi maupun teori-teori emansipasi mayarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebaginya. Ini berarti ilmu pengetauan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena itu sudah berada di tengah-tengah masyaraka luas dan masyarakat akan mengujinya.

Oleh karena itu karena tanggung jawab lain yang berkaitan dengan penerapan teknologi dimasyarakat, yaitu menciptakan hal positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif ketika berada ditengah msayarakat. Kadang kala teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu teknologi bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetik ( kloning manusia) yang dapat dianggap berentangan dengan kodrat manusia atau ajaran agama. Dalam persolan ini perlu ada penjelasan leih lanjut. Bagi seorang ilmuan apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu, dia harus berjiwa besar, berisfat terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat. Tugas seorang ilmuan harus menjelaskan hasil penelitianya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.

 Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus lagi bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penetuan kebenaran secara ilmiah. Ditengah situasi dimana nilai mengalami keguncangan, maka seorang ilmuan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikanya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seseorang ilmuan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan contoh yang baik.

Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terkait dengan nilai-nilai? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama memngarahakan ilmu pengetahauan pada tujuan hakikinya, yakni memahami ralitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan diri, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melalu” pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang di berikan oleh Al-Qur’an terhdapa ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkat dan rahmat pada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat

Bedarkan sejarah tradisi islam ilmu tidaklah berkembang pada arah terkendali, tapi ia harus bergerak kearah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikanya. Kekusaaan manusia atas ilmu pegetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan “melulu “ untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaan yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka pengembangan diri kepada sang pencipta.

Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan antara filosof denga para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapakan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk  ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk satra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangakan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuan menjadikan ilmu pengetahuan sebagi alat untu menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusai atau untuk membuan manusia senang karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinnay akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatsi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energy, kesehatan, dan lain sebaginya. Sedangkan pendapat yang lainya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.

0 komentar:

Posting Komentar