Pages

Subscribe:

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Sabtu, 07 Oktober 2017

Beberapa kasus-kasus yang terjadi pada lansia

Kasus-kasus pada lansia berserta pemeriksaanya :
1.     Osteoathritis
Osteo arthritis merupakan penyakit sendi degeneratif pada kartilago sendi dengan perubahan reaktif pada batas-batas sendi, seperti pembentukan osteofit, perubahan tulang subkondral, perubahan sumsum tulang, reaksi fibrous pada sinovium, dan penebalan kapsul sendi. Sendi yang bisa terkena OA adalah sendi-sendi benar (‘true joint’ atau diarthrosis), yaitu sendi-sendi yang mempunyai kapsul sendi, membran sinovialis, cairan sinovialis, dan kartilago sendi.



Pemeriksaan :
Pemeriksaan penunjang rutin yang dilakukan untuk evaluasi OA lutut adalah pemeriksaan rontgen konvensional. Gambaran khas pada OA lutut adalah adanya osteofit dan penyempitan celah sendi.3,7 Berdasarkan pemeriksaan radiologi, Kellgren & Lawrence menyusun gradasi OA lutut menjadi :   

a.     Grade 0 :  tidak ada OA
b.     Grade 1 :  sendi dalam batas normal dengan osteofit meragukan
c.     Grade 2 :  terdapat osteofit yang jelas tetapi tepi celah sendi baik dan tak nampak deformitas tulang.
d.     Grade 3 :  terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan penyempitan celah sendi.
e.     Grade 4 :  terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan disertai hilangnya celah sendi

The American College of Rheumatology menyusun kriteria diagnosis OA lutut idiopatik berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologi sebagai berikut :

Klinis dan laboratorium
Klinis dan radiologis
Klinis
Nyeri lutut + minimal 5 dari 9 berikut :
-    umur > 50 tahun
-    stiffness < 30 menit
-    krepitasi
-    nyeri pada tulang
-    pelebaran tulang
-    tidak hangat pada perabaan
-    LED < 40mm/jam
-    Rheumatoid factor <1:40
-    Cairan sinovial : jernih, viscous,Lekosit <2000/mm3
Nyeri lutut + minimal 1 dari 3 berikut :
-             umur > 50 tahun  
-            stiffness < 30 menit
     -    krepitasi + osteofit
Nyeri lutut + minimal 3 dari 6 berikut :
-    umur > 50 tahun
-    stiffness < 30 menit
-    krepitasi
-    nyeri pada tulang
-    pelebaran tulang
-    tidak hangat pada perabaan
92% sensitif
75%spesifik
91 % sensitive
86% spesifik
95 % sensitif
69  spesifik







2.     Reumatoid arthritis

Artritis Reumatoid (AR) adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai membran sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan (Diane C. Baughman, 2000).
            Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya dikarekteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut (Susan Martin Tucker, 1998).
            Penyakit reumatik adalah penyakit inflamasi non- bakterial yang bersifat sistemik, progesif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris (Rasjad Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi, hal. 165).

Pemeriksaan penunjang

1.Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal ) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
2.Scan radionuklida :mengidentifikasi peradangan sinovium
3.Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi tulang pada sendi
4.Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning (respon inflamasi, produk-produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan komplemen (C3 dan C4).
5. Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
6. Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration) atau atroskopi; cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak leukosit dan kurang kental dibanding cairan sendi yang normal.
7.Kriteria diagnostik Artritis Reumatoid adalah terdapat poli- arthritis yang simetris yang mengenai sendi-sendi proksimal jari tangan dan kaki serta menetap sekurang-kurangnya 6 minggu atau lebih bila ditemukan nodul subkutan atau gambaran erosi peri-artikuler pada foto rontgen

3.     Osteoporosis
Secara harfiah kata osteo berarti tulang dan kata porosis berarti
berlubang atau dalam istilah populer adalah tulang keropos. Zat kapur,
kalsium adalah mineral terbanyak dalam tubuh kurang lebih 98% kalsium
dalam tubuh terdapat di dalam tulang. Kelompok kerja WHO dan
konsensus ahli mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang
ditandai dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya
mikrostruktural jaringan tulang menyebabkan kerapuhan tulang sehingga
meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Keadaan tersebut tidak
memberikan keluhan klinis kecuali apabila telah terjadi fraktur (Thief in
the night)

Pemeriksaan  
Pengukuran densitas tulang merupakan kriteria utama untuk
menegakkan diagnosis dan monitoring osteoporosis dengan densitometri,
computed tomography scan (CT Scan), atau ultrasound. Diagnosis
osteoporosis dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada saat ini bakuan untuk diagnosis
osteoporosis diperoleh dengan menggunakan teknik Dual Energy X-ray
Absorpsiometry (DXA) yang mengukur kepadatan tulang sentral.
kelangkaan dan mahalnya DXA untuk sementara dapat digantikan dengan
alat Ultrasound Densitometry atau Quantitative Ultrasound (QUS) yang
lebih murah, mudah dipindahkan dan tidak terdapat efek radiasi tetapi
tidak dapat mengukur secara langsung BMD.

Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan
mineral tulang adalah sebagai berikut :

a.     Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinar–X berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-x yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingkan dengan metode ultrasounds. Satuan : gr/cm2.

b.     Peripheral Dual-Energy X-ray Absorptiometry (P-DEXA),
merupakan hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur
kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi
tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang
seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang
belakang dan pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan
P-DEXA tidak diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa,
menggunakan radiasi sinar-X dengan dosis yang sangat kecil dan
hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan DEXA. Satuan :
gr/cm2.

c.     Dual Photon Absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif
untuk menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral
tulang belakang dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar
dengan dosis yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang
cukup lama. Satuan : gr/cm2.

d.     Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika
hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka
dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds
menggunakan gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral
tulang, biasanya pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan
gelombang suara melalui udara dan sebagian lagi melalui air.
Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak
menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu kelemahan
ultrasounds adalah tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral
tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan
ultrasounds juga lebih terbatas dibadingkan DEXA. Satuan : gr/cm2

e.     Quantitative Computed Tomography (QCT), adalah suatu model dari
CT-scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu
model dari QCT disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat
mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan
tangan. Pada umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan
karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi dan
kurang akurat dibandingkan dengan DEXA, P-DEXA atau DPA.
Satuan : gr/cm2.

Hasil pengukuran kepadatan tulang dapat disajikan dalam
beberapa bentuk, yaitu :

a.     T-score
T-score hasil pengukuran kepadatan tulang dibandingkan dengan
nilai rata-rata kepadatan tulang sehat pada umur 30 tahun. Nilai
kepadatan mineral tulang selanjutnya dilaporkan sebagai standar
deviasi dari mean kelompok yang direferensikan.
1) Nilai negatif (-) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai
kepadatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata
kepadatan tulang sehat pada usia 30 tahun.
2) Nilai positif (+) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai
kepadatan mineral lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
kepadatan tulang sehat pada usia 30 tahun

Tabel 2.1 Kepadatan Tulang Berdasarkan T-Score

Kategori                                    Nilai T-Score


Normal                                    -1 ≤ SD < 2.5
Osteopenia                              -2.5 ≤ SD <-1
Osteoporosis                          < -2.5
Osteoporosis parah                < -2.5 dan adanya satu
        atau Lebih fraktur

4.     Demensia
Definisi demensia menurut WHO adalah sindrom neurodegeneratif
yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progesifitas
disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi, kapasitas
belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia
tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan
perburukan kontrol emosi, perilaku, dan motivasi.
            Menurut International Classification of Diseases 10 ( ICD 10 ).
Penurunan memori yang paling jelas terjadi pada saat belajar informasi
baru, meskipun dalam. Pada kasus yang lebih parah memori tentang
informasi yang pernah dipelajari juga mengalami penurun. Penurunan
terjadi pada materi verbal dan non verbal. Penurunan ini juga harus
didapatkan secara objektif dengan mendapatkan informasi dari orang –
orang yang sering bersamanya, atau pun dari tes neuropsikologi atau
pengukuran status kognitif.

Pemeriksaan

Mini Mental State Examination (MMSE) adalah salah satu alat
yang paling umum untuk pemeriksaan penurunan kognitif pada dewasa tua
dan lanjut usia. MMSE dikembangkan untuk membedakan antara lanjut
usia dengan atau tanpa gangguan neuropsikiatri awal dalam proses
penyakit. Dengan mengetahui lebih awal gangguan neuropsikiatri orang
tersebut maka dapat meningkatkan waktu pengobatan farmakologis dan
non farmakologis untuk menunda terjadinya gangguan neuropsikiatri
tersebut terutama gangguan kognitif. Hal ini juga digunakan selama masa
tindakan pada pasien yang menderita gangguan kognitif untuk menilai
perkembangan penyakit.
            MMSE mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menilai lima
bidang fungsi kognitif (orientasi, memori langsung, perhatian /
konsentrasi, daya ingat, bahasa). Dan beberapa komponen ini telah diteliti
ulang dan menunjukan bahwa pada demensia memang terdapat beberapa
gangguan tersebut.

5.     Depressi lanjut usia
Depresi adalah gangguan perasaan yang menimbulkan perasaan
terdepresi (perasaan sedih, kecewa, sia-sia), hilangnya energi dan minat,
perasaan bersalah, hilang atau sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan,
rasa ingin bunuh diri dan terkadang memiliki perilaku yang merendahkan
diri (tidak membersihkan diri, dan tidak memakai pakaian). Depresi juga
dapat menyebabkan timbulnya keluhan simptomatik.
Depresi adalah gangguan mental dengan penampilan mood yang
terdepresi, kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan
bersalah atau rendah diri, gangguan tidur atau nafsu makan, dan kurang
konsentrasi. Pada lansia, depresi merupakan salah satu penyakit mental yang
sering terjadi. Kaplan dan Sadock (1997) mengungkapkan bahwa gejala
depresi ditemukan pada 25% dari semua penduduk komunitas lanjut usia dan
pasien rumah perawatan (home nursing care). Kerentanan seorang lansia
terhadap kejadian depresi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal, namun
multifaktorial, yaitu faktor biologis, fisis, psikologis, dan sosial.

Pemeriksaan

Pemeriksaan status mental
Pemeriksaan status mental yang dilakukan kepada pasien dengan
gejala depresi antara lain:
a. Deskripsi umum
Retardasi psikomotor menyeluruh, agitasi psikomotor sering
ditemukan pada lanjut usia. Gejala agitasi yang paling umum adalah
menggenggamkan tangan dan menarik-narik rambut. Pasien depresi
sering memiliki postur membungkuk, mata kosong, pandangan putus
asa dan mengalihkan pandangan.
b. Mood, afek dan perasaan
Gangguan perasaan yang sering didapat adalah afek sedih, perasaan
sedih atau kesepian, penarikan diri dari sosial dan penurunan aktivitas
menyeluruh. Pasien juga dapat mengeluhkan perasaan letih ataupun
kehilangan energi tanpa melakukan pekerjaan yang berat.
c. Bicara
Banyak pasien menunjukkan penurunan kecepatan dan volume bicara
serta respon yang melambat.
d. Gangguan isi pikiran
Adanya waham pada pasien terdepresi menunjukkan episode berat
dengan ciri psikotik. Waham sesuai mood adalah waham bersalah,
memalukan, tidak berguna, kemiskinan, kegagalan, kejar dan penyakit
somatik terminal sedangkan waham tidak sesuai mood adalah tidak
sesuai mood terdepresi, dengan tema kebesaran.
e. Pikiran
Biasanya memiliki pandangan negatif tentang dunia dan dirinya. Dapat
juga terjadi pelambatan pikiran (thought blocking) dan kemiskinan isi
pikiran sebanyak 10%.
f. Sensorium dan Kognisi
Gangguan orientasi lebih muncul pada depresi yang berat, meliputi
orientasi terhadap orang, tempat dan waktu. Gangguan daya ingat pada
pasien depresi sering disebut pseudokognitif yang terjadi sekitar 50 –
70% dengan gejala gangguan kognitif, kurangnya konsentrasi dan
mudah lupa. Tilikan pasien terkadang berlebihan menekankan gejala,
gangguan dan masalah hidupnya. Informasi yang didapatkan terlalu
menonjolkan hal yang negatif atau buruk.

6.     Hipertensi
Menurut The Sixth Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, adan Treatment of High Blood Pressure (1997)
hipertensi merupakan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau
tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih atau sedang dalam
pengobatan anti hipertensi.

Pemeriksaan
            Anamnesis
Diagnosis krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin,
karena hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan
tepat serta tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang
menyeluruh walaupun dengan data – data yang minimal kita
sudah dapat mendiagnosis suatu krisis hipertensi.
Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesis singkat. Hal
yang penting ditanyakan:
1. Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
2. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
3. Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
4. Gejala sistem syaraf (sakit kepala, perubahan mental,anxietas)
5. Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang).
6. Gejala sistem kardiovaskular ( adanya payah jantung,
kongestif dan oedem paru, nyeri dada ).
7. Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
8. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah
(baring dan berdiri) mencari kerusakan organ sasaran (retinopati,
gangguan neurologi, payah jantung kongestif). Komplikasi krisis
hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung,
kongestif dan oedema paru perlu dibedakan perlu dicari penyakit
penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
1. Pemeriksaan yang segera seperti :
a. Darah : rutin, kreatinin, elektrolik.
b. Urin : urinalisa dan kultur urin.
c. EKG : 12 lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto thorax : untuk menentukan ada oedem paru atau tidak
2. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan
hasil pemeriksaan yang pertama) :
a. Sangkaan kelainan renal : IVP, renald angiography ( kasus
tertentu ), biopsi renald ( kasus tertentu ).
b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi :
Spinal tab, CT Scan.

7.     Stroke
Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah bahwa
stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional
otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada
intervensi bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh
sebab lain selain penyebab vaskuler (Mansjoer, 2000). Menurut Geyer
(2009) stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan berkembangnya
tiba-tiba defisit neurologis persisten fokus sekunder terhadap peristiwa
pembuluh darah.
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia dan
penyebab kematian nomor dua di dunia. Duapertiga stroke terjadi di
negara berkembang. Pada masyarakat barat, 80% penderita mengalami
stroke iskemik dan 20% mengalami stroke hemoragik. Insiden stroke
meningkat seiring pertambahan usia (Dewanto dkk, 2009).

Pemeriksaaan
Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota
gerak sebelah badan, mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak
dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini timbul sangat
mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, sedang bekerja, ataupun
sewaktu istirahat.





Pemeriksaan fisik
Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi
vital seperti tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan,
tentukan juga tingkat kesadaran penderita. Jika kesadaran
menurun, tentukan skor dengan skala koma glasglow agar
pemantauan selanjutnya lebih mudah, tetapi seandainya penderita
sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai
pemeriksaan saraf – saraf otak dan motorik apakah fungsi
komunikasi masih baik atau adakah disfasia. Jika kesadaran
menurun dan nilai skala koma glasglow telah ditentukan, setelah
itu lakukan pemeriksaan refleks – refleks batang otak yaitu :
1. Reaksi pupil terhadap cahaya.
2. Refleks kornea.
3. Refleks okulosefalik.
4. Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan
Cheyne Stoke, hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan
ataksik. Setelah itu tentukan kelumpuhan yang terjadi pada
saraf – saraf otak dan anggota gerak. Kegawatan kehidupan
sangat erat hubungannya dengan kesadaran menurun, karena
makin dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik
prognosis neurologis maupun kehidupan. Kemungkinan
perdarahan intra serebral dapat luas sekali jika terjadi
perdarahan – perdarahan retina atau preretina pada
pemeriksaan funduskopi.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cek laboratorium,
pemeriksaan neurokardiologi, pemeriksaan radiologi,
penjelasanya adalah sebagai berikut :
1. Laboratorium.
a. Pemeriksaan darah rutin.
b. Pemeriksaan kimia darah lengkap.
1. Gula darah sewaktu.
Stroke akut terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah
dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian
berangsur – angsur kembali turun.
2. Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati,
enzim SGOT/SGPT/CPK, dan profil lipid (trigliserid,
LDH-HDL kolesterol serta total lipid).
c. Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).
1. Waktu protrombin.
2. Kadar fibrinogen.
3. Viskositas plasma.
d. Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi
Homosistein

Pemeriksaan neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan
elektrokardiografi. Perubahan ini dapat berarti kemungkinan
mendapat serangan infark jantung, atau pada stroke dapat
terjadi perubahan – perubahan elektrokardiografi sebagai akibat
perdarahan otak yang menyerupai suatu infark miokard.
Pemeriksaan khusus atas indikasi misalnya CK-MB follow up
nya akan memastikan diagnosis. Pada pemeriksaan EKG dan
pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan adanya
potensial source of cardiac emboli (PSCE) maka pemeriksaan
echocardiografi terutama transesofagial echocardiografi (TEE)
dapat diminta untuk visualisasi emboli cardial.

Pemeriksaan radiologi
a. CT-scan otak
Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera dan
pemeriksaan ini sangat penting karena perbedaan
manajemen perdarahan otak dan infark otak. Pada infark
otak, pemeriksaan CT-scan otak mungkin tidak
memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada hari –
hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam serangan.
Jika ukuran infark cukup besar dan hemisferik.
Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi,
oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk
memastikan proses patologik di batang otak.

b. Pemeriksaan foto thoraks.
1. Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah
terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan
salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke
dan adakah kelainan lain pada jantung.
2. Dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial
mempengaruhi proses manajemen dan memperburuk
prognosis.

8.     Jantung coroner
Penyakit jantung koroner dalam suatu keadaan akibat terjadinya
penyempitan, penyumbatan atau kelainan pembuluh nadi koroner.
Penyakit jantung koroner diakibatkan oleh penyempitan atau penyumbatan
pembuluh darah koroner. Penyempitan atau penyumbutan ini dapat
menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan
rasa nyeri (Yenrina, Krisnatuti, 1999).
Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung akibat adanya
kelainan pada pembuluh koroner yakni pembuluh nadi yang mengantarkan
darahke aorta ke jaringan yang melindungi rongga-rongga jantung
(Kartohoesodo, 1982).

Pemeriksaan
Anamnesis
 Anamnesis berguna mengetahui riwayat masa lampau seperti riwayat
merokok, usia, infark miokard sebelumnya dan beratnya angina untuk
kepentingan diagnosis pengobatan (Anonim, 2009).


Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan sebagai acuan pada PJK adalah denyut jantung, tekanan darah, suhu tubuh dan kecepatan respirasi (Majid, 2007).

            Laboratorium
Pada pasien angina stabil sebaiknya dilakukan pemeriksaan profil lipid
seperti LDL, HDL, kolesterol total, dan trigliserida untuk menentukan faktor
resiko dan perencanaan terapi. Selain pemeriksaan diatas dilakukan pula
memeriksaan darah lengkap dan serum kreatinin. Pengukuran penanda enzim
jantung seperti troponin sebaiknya dilakukan bila evaluasi mengarah pada
sindrom koroner akut (Anonim, 2009).

Foto sinar X dada
X-ray dada sebaiknya diperiksa pada pasien dengan dugaan gagal jantung,
penyakit katup jantung atau gangguan paru. Adanya kardiomegali, dan kongestiparu dapat digunakan prognosis (Anonim, 2009).

Pemeriksaan jantung non-invasif
a. EKG merupakan pemeriksaan awal yang penting untuk mendiagnosis PJK.
b. Teknik non-invasi penentuan klasifikasi koroner dan teknik imaging (computed
tomografi (CT) dan magnetic resonance arteriography. Sinar elektron CT
telah tervalidasi sebagai alat yang mampu mendeteksi kadar kalsium koroner
(Anonim, 2009).

Pemeriksaan invasif menentukan anatomi koroner
Arteriografi koroner adalah Pemeriksaan invasif dilakukan bila tes non invasif
tidak jelas atau tidak dapat dilakukan. Namun arteriografi koroner tetap
menjadi pemeriksaan fundamental pada pasien angina stabil. Arteriografi
koroner memberikkan gambaran anatomis yang dapat dipercaya untuk
identifikasi ada tidaknya stenosis koroner, penentuan terapi dan prognosis
(Anonim, 2009).

9.     Kardiomiopati
Kardiomiopati adalah suatu proses penyakit yang kompleks yang dapat
menyerang jantung penderita dengan berbagai usia dan manifestasi klinis biasanyatampak saat dekade ketiga atau keempat. Kardiomiopati dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan perubahan anatomi yang terjadi, yaitu kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertrofi, dan kardiomiopati restriksi.

Pemeriksaan
Pada pasien dengan penyakit lanjutan, tekanan nadi menyempit dan tekanan vena jugularis meningkat. Suara jantung ketiga dan keempat umumnya ada, dan regurgitasi mitral atau trikuspid mungkin terjadi. Pada beberapa pasien, gejala gagal jantung berkembang secara bertahap.
Pemeriksaan fisik menunjukkan ronkhi basah, peninggian jugular venous pressure, kardiomegali, irama gallop pada S3, edema perifer, atau asites. Pada gagal jantung kronik yang parah, pernafasan Cheyne-Stokes, pulsus alternans, pucat, dan sianosis dapat timbul.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan X-foto thorax menunjukkan pembesaran siluet jantungkarena dilatasi ventrikel kiri, meskipun kardiomegali yang umum sering terlihat. Bagian paru mungkin menunjukkan redistribusi vaskuler dan interstitial paru atau, dalam kasus yang lebih lanjut, edema paru elektrokardiogram (EKG) sering menunjukkan sinus takikardi atau fibrilasi atrium, aritmia ventrikel, atrium kiri yang tidak normal, tegangan rendah, dan kadang-kadang kerusakan konduksi intraventrikel dan/atau AV. EKG, gambarancomputed tomography (CT), dan magnetic resonance imaging (MRI) jantung menunjukkan dilatasi ventrikel kiri, dengan dinding yang normal, sedikit menebal, atau tipis, dan disfungsi sistolik. Kadar dari brain natriuretic peptide (BNP) biasanya meningkat.
Skrining awal pemeriksaan laboratorium untuk pasien kardiomiopati
dilatasi harus mencakup penilaian rutin elektrolit serum, tes fungsi hati,jumlah sel darah putih, dan hemoglobin dan hematokrit. Di luar tes rutin ini, nilai prediktif positif atau kegunaan dari penelitian laboratorium tambahan masih rendah kecuali didukung oleh unsur-unsur tertentu dari sejarah dan pemeriksaan fisik. Satu kemungkinan pengecualian untuk pernyataan ini adalah penggunaan BNP sebagai penanda biokimia untuk diagnosis dan prognosis pada pasien gagal jantung.
BNP tipe B adalah sebuah neurohormon yang disekresikan terutama di
ventrikel jantung sebagai respon dari penambahan volume dan kelebihan tekanan.Ini bisa digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri tanpa gejala atau untuk pasien dengan gagal jantung simtomatik, sebagai penanda untuk prognosis dan stratifikasi risiko pada pasien dengan gagal jantung, dan sebagai alat untuk menyatukan terapi pasien rawat inap dan pasien rawat jalan pada gagal jantung.
Pada fase awal kardiomiopati dilatasi, pembesaran jantung mungkin bisa minimal dan mungkin tidak terdeteksi dengan foto thorax. Tetapi, secara umum, Xfoto thorax biasanya menunjukkan pembesaran ventrikel kiri atau kardiomegali yang umum yang melibatkan seluruh ruang jantung. Tergantung dari status volume pasien, mungkin dapat atau tidak ditemukan kongesti paru. Cephalisasi dari aliran darah atau redistribusi vaskuler paru adalah tanda awal kelebihan cairan, diikuti oleh perkembangan dari edema interstitial dengan munculnya garis Kerley B dan cairan di fissura interlobar, diikuti oleh edema alveolar yang nyata pada kelebihan cairan yang sudah lanjut. Efusi pleura mungkin muncul serta vena azygos dan vena cava superior mungki mengalami pembesaran, khususnya dengan gagal ventrikel kanan.
                        Apabila pasien dengan kardiomiopati dilatasi datang dengan tanda atau
gejala yang mengarah pada gagal jantung, EKG biasanya menunjukkan sinus
takikardi. Tetapi, sangat penting untuk mengingat bahwa sinus bradikardi mungkindapat timbul di beberapa pasien dengan kardiomiopati dilatasi stadium akhir. Morfologi yang terlihat dari EKG jarang terlihat normal, dan sering menunjukkan repolarisasi non spesifik atau segmen ST yang abnormal. Kelainan konduksi, terutama LBBB, left anterior hemiblock, dan penundaan konduksi intraventrikel yang tidak spesifik, dan kadang kala blok atrioventrikuler derajat satu umum ditemukan pada pasien dengan gejala yang sudah berlangsung lama, dan mungkin sebagai penanda peningkatan fibrosis interstitial atau hipertrofi miosit. Right bundle branch block (RBBB) jarang ditemukan. Pembesaran atrium kiri atau biatrial mungkin tampak. Berbagai macam takiaritmia dan gangguan konduksi atrioventrikuler juga dapat dilihat. Fibrilasi atrium terbentuk di sekitar 20% pasien. Premature ventricular contractions (PVCs) bukan merupakan sesuatu yang jarang muncul di EKG rutin pada pasien kardiomiopati dilatasi.

10.  PPOK (penyakit paru obstruktif kronis)
Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease), PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan beberapa efek ekstrapulmonal yang signifikan berkontribusi terhadap tingkat keparahan penderita. Karakteristik penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara tersebut biasanya bersifat progressif dan berhubungan dengan respon inflamasi pulmonal terhadap partikel atau gas berbahaya.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.15 Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar

Pemeriksaan
              Anamnesis
PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan
tanda dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis. Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut.
a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk
dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada
malam hari.
b. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang
kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai
batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari
ketika bangun tidur.
c. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan
dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak
Tabel 2. Skala Sesak

Skala Sesak                  Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
    
       0                           Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
       1                           Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik
tangga 1 tingkat
       2                           Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
       3                           Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah
beberapa menit
       4                           Sesak bila mandi atau berpakaian

Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan
riwayat pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang
terlibat. Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari
80% kematian pada penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang
merokok memiliki resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak
merokok. Resiko untuk perokok aktif sekitar 25%.
Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus
PPOK. Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok
pasif, paparan kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan
ketika masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1-
antitripsin.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk
kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan
aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.

Pemeriksaan Fisik
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan
fungsi paru yang signifikan.Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak
ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena
sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat
sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas
atau perubahan bentuk anatomi toraks.Secara umum pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a.     Inspeksi
-Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
-Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
-Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Palpasi
-Sela iga melebar
b.     Perkusi
- Hipersonor
c.     Auskultasi
-Fremitus melemah
-Suara nafas vesikuler melemah atau normal
-Ekspirasi memanjang
-Bunyi jantung menjauh
-Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa ataupada ekspirasi paksa

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Spirometri
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometri. The National Heart, Lung, dan Darah Institute merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten. Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan prosedur sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.
                        Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced
Expiratory Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity).  FEV1adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan secara pak dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari
usia, jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total
udara yang pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
           
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4.Eksaserbasi lebih
sering terjadi
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%

Pemeriksaan Penunjang lain
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun
beberapa tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan.
Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau
perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan computed tomography untuk memonitor kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus
dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.Hal ini wajar untuk
melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tandatanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse
oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur harus
dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen
tambahan.

11.  Tuberculosis
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang
terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal
dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu
sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb
paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular
melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin
atau bicara.

Pemeriksaan

Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagisewaktu (SPS).
1. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis
datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek
membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi
hari kedua
2. P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas.
3. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi hari.

Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu
pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan
Ziehl Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana `
pewarnaannya dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk
penapisan).

Tabel 2 Intepretasi hasil pemeriksaan Tb paru
3 kali positif atau dua kali positif, 1 kali negative                  BTA +
1 kali positif, 2 kali negatif                                                     Ulangi  BTA 3 kali
Bila 1 kali positif, dua kali negatif                                          BTA +
Bila 3 kali negatif                                                                    BTA -

           



            Pemeriksaan Bactec
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak  yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.Bentuk lain teknik ini adalah dengan memakai Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT)10.

Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam
kedua dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatanpenderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan daya tahan tubuh penderita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal juga tidak menyingkirkan diagnosa TBC10.

Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:
a.     Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
b.     Hemoptisis berulang atau berat
c.     Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +

Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif :
a.     Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dansegmen superior lobus bawah paru.
b.     Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.
c.     Bayangan bercak milier.
d.     Efusi Pleura

Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif 11:
a.     Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas danatau segmen superior lobus bawah.
b.     Kalsifikasi.
c.     Penebalan pleura.


12.  Diabetes mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemia
kronik yang disertai dengan berbagai kelainan metabolik yang
diakibatkan oleh gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai
macam komplikasi kronik pada organ mata, ginjal, saraf, pembuluh
darah disertai lesi padda membran basalis dalam dengan menggunakan
pemeriksaan dalam mikroskop (Arief Mansjoer dkk, 2005).
Menurut Arif Mansjoer (2005), klasifikasi pada penyakit
diabetes mellitus ada dua antara lain: Diabetes Tipe I (Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)). Diabetes tipe ini juga jenis
diabetes yang sering disebut DMTI yaitu Diabetes Mellitus Tergantung
Pada Insulin. Pada tipe ini yaitu disebabkan oleh distruksi sel beta
pulau langerhans diakibatkan oleh proses autoimun serta idiopatik.
Diabetes Mellitus Tipe II, diabetes tipe II atau Non Insulin Dependent
Diabetes mellitus (NIDDM) atau jugu DMTTI yaitu Diabetes Mellitus
Tak Tergantung Insulin. Diabetes tipe II ini disebabkan karena adanya
kegagalan relativ sel beta dan resistensi insulin. Resistensi
insulinmerupakan turunnya kemampuan insulin dalam merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer, untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel beta tersebut tidak dapat mengimbangi
resistensi insulin ini seutuhnya, yang dapat diartikan terjadi nya
defensiensi insulin, adanya ketidakmampuan ini terlihat dari
berkurangnya sekresi insulin terhadap rangsangan glukosa maupun
glukosa bersama perangsang sekresi insulin yang lain, jadi sel beta
pancreas tersebut mengalami desentisisasi terhadap glukosa.

Pemeriksaan

Pemerikaan Penunjang
Menurut Smelzer dan Bare (2008), adapun pemeriksaan penunjang
untuk penderita diabetes melitus antara lain :

a. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : melihat pada daerah kaki bagaimana produksi
keringatnya (menurun atau tidak), kemudian bulu pada
jempol kaki berkurang (-).
2) Palpasi : akral teraba dingin, kulit pecah - -pecah , pucat,
kering yang tidak normal, pada ulkus terbentuk kalus yang
tebal atau bisa jugaterapa lembek.
3) Pemeriksaan pada neuropatik sangat penting untuk
mencegah terjadinya ulkus

b. Pemeriksaan Vaskuler
1) Pemeriksaan Radiologi yang meliputi : gas subkutan,
adanya benda asing, osteomelietus.
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan darah yang meliputi : GDS (Gula Darah
Sewaktu), GDP (Gula Darah Puasa),


b) Pemeriksaan urine , dimana urine diperiksa ada atau
tidaknya kandungan glukosa pada urine tersebut.
Biasanya pemeriksaan dilakukan menggunakan cara
Benedict (reduksi). Setelah pemeriksaan selesai hasil
dapat dilihat dari perubahan warna yang ada : hijau (+),
kuning (++), merah (+++), dan merah bata (++++).

c) Pemeriksaan kultur pus
Bertujuan untuk mengetahui jenis kuman yang terdapat
pada luka dan untuk observasi dilakukan rencana
tindakan selanjutnya.

d) Pemeriksaan Jantung meliputi EKG sebelum dilakukan
tindakan pembedahan

13.  Ulkus diabetikum
Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi yang umum bagipasien dengan diabetes melitus. Penyembuhan luka yang lambat dan
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi cenderung terjadi, ganggren dapatberkembang dan terdapat resiko tinggi perlu dilakukannya amputasi tungkaibawah hal ini di akibatkan oleh gangguan neurologis (neuropati) dan vaskulerpada tungkai (Morison, 2012).

Pemeriksaan
Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti, diagnosis kaki
diabetik ditegakkan melalui riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa kaki
diabetes melitus dapat ditegakkan melalui beberapa tahap pemeriksaan
sebagai berikut :

a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga
Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi :
1) Lama diabetes
2) Managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
3) Olahraga dan obat-obatan
4) Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
5) Alergi
6) Pola hidup
7) Medikasi terakhir
8) Kebiasaan merokok
9) Minum alkohol

Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki,pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas, gejala
Neuropathi dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah
adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman,
penampakan ulkus, temperatur dan bau.



            b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit, pecahpecah;
berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya kalus atau bula;
bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap
dan postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk claw toe
atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan
kekuatan kaki.
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen
ditambah dengan tunning fork 128-Hz, pinprick sensation, reflek kaki
untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi.
3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi
pada arteri kaki, capillary refiling time, perubahan warna, atropi kulit
dan kuku dan pengukuran ankle brachial index.
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan
nyaman, tipe sepatu dan ukurannya.

c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis
pasien, yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau
sewaktu, glycohemoglobin (HbA1c), Complete Blood Count (CBC),
urinalisis, dan lain- lain.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetik menjadi
infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.
e. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi kaki diabetik
adalah dengan menilai Ankle Brachial Index (ABI) yaitu pemeriksaan
sistolik brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling
tinggi dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai.
Nilai normalnya adalah O,9-1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan
bawah pasien penderita diabetes melitus memiliki penyakit kaki diabetik
dengan melihat gangguan aliran darah pada kaki. Alat pemeriksaan yang
digunakan ultrasonic doppler. Doppler dapat dikombinasikan dengan
manset pneumatic standar untuk mengukur tekanan darah ekstremitas
bawah.













                                                  
Daftar Pustaka


http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/113/jtptunimus-gdl-zilfakusum-5628-2-babii.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/141/jtptunimus-gdl-gharinisum-7045-3-babii.pdf
http://eprints.undip.ac.id/44194/3/VettyKurniawati_G2A009145_BAB2KTI.pdf
http://fisioterapishartanto.blogspot.co.id/2011/11/osteoarthritis-oa.html
http://eprints.undip.ac.id/48368/3/BAB_II.PDF
http://eprints.ums.ac.id/33983/11/BAB%20II.pdf
http://widhawidhari.blogspot.co.id/2014/03/askep-rematik-pada-lansia.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/22611/Chapter%20II.pdf?sequence=4
http://eprints.undip.ac.id/44525/3/Danu_Kamajaya_22010110110028_BAB_II.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-adammiciga-6398-3-babiit-a.pdf
http://eprints.ums.ac.id/14926/2/BAB_1.pdf
http://eprints.undip.ac.id/53766/3/Ahmad_Mumtaz_22010112130171_Lap_KTI_Bab2.pdf
http://eprints.undip.ac.id/44615/3/2.pdf


0 komentar:

Posting Komentar